Selasa, 01 Desember 2015

Al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan manusia

Wahyu Sebagai Sumber Informasi

Proses Kenabian Sebagai Proses Perkembangan Peradaban Manusia
Setiap manusia yang be-Tuhan selalu meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di dalam kehidupan ini -- termasuk di dalamnya adalah keberagaman agama-agama itu sendiri -- bersumber pada asal yang satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena berasal dari satu sumber, meskipun proses pencapaian terhadap tujuannya melalui cara yang berbeda satu sama lain, tetapi setiap agama selalu mempunyai tujuan yang sama, yaitu : mencapai kehidupan yang selamat, baik kehidupan dunia maupun akhirat. Perbedaan proses pencapaian tersebut di antaranya disebabkan adanya perbedaan lokasi maupun waktu masa kenabian dari setiap nabi-nabi yang pernah ada.

Kata nabi atau nabiyy, berasal dari kata naba’ yang artinya berita tentang sesuatu yang mengandung urusan yang penting atau berita yang mempunyai manfaat besar yang menyebabkan orang mengetahui sesuatu. Menurut pemahaman umum, nabi adalah seorang laki-laki yang diberi wahyu oleh Tuhan dan ditugaskan untuk menyampaikan wahyu tersebut kepada umatnya. Karena itu nabi juga disebut sebagai rasul yang berarti utusan atau orang yang mengemban amanat atau pesan.
Tetapi sering pula disebutkan perbedaan antara nabi dan rasul sebagai berikut, nabi adalah orang yang menerima wahyu syariat dari Tuhan untuk dilakukan sendiri, sedangkan rasul adalah seorang manusia yang menerima wahyu syariat dari Tuhan untuk dilakukan sendiri dan juga agar disampaikan kepada umatnya. Dengan demikian, setiap rasul itu pasti nabi, namun tidak setiap nabi itu juga merupakan seorang rasul. Di dalam Al Qur’an istilah nabi dan rasul digunakan bergantian meskipun orangnya sama, kadang-kadang disebut sebagai nabi, kadang-kadang disebut rasul, bahkan kadang-kadang disebut sebagai nabi dan rasul secara bersamaan.

Dan ceritakanlah hai Muhammad kepada mereka kisah Musa yang ada dalam Al Qur’an ini. Sesungguhnya dia adalah seorang Pilihan dan seorang rasul serta nabi pula.
(QS. 19 Maryam: 51)

Dan ceritakanlah pula kisah Ismail yang ada dalam Al Qur’an ini. Sesungguhnya dia adalah seorang Penyempurna janji, seorang rasul dan seorang nabi.
(QS. 19 Maryam: 54).

Adapun misi utama setiap nabi/rasul itu adalah menyampaikan wahyu Tuhan kepada masyarakat serta mengajaknya untuk senantiasa mengamalkan wahyu Tuhan tersebut pada setiap kegiatan hidup yang dilakukannya. Bukan hanya sebatas kepada sistim ibadah yang diritualkan saja, tetapi juga menterjemahkannya pengetahuan (wahyu) tersebut kedalam kegiatan hidup sehari-hari. Misi utama para nabi tersebut dapat dilihat dengan adanya usaha untuk meluruskan kembali kehidupan masyarakat yang telah menyimpang dari ajaran nabi sebelumnya, selain menyampaikan wahyu (pengetahuan) untuk perkembangan kehidupan masyarakat yang selanjutnya agar cara kehidupan yang dilakukannya tetap sesuai dengan model kehidupan yang dikehendaki oleh Tuhan. Dalam hal ini Tuhan sendiri menjelaskannya sebagai berikut:

Tidaklah Kami mengutus seorang rasul yang sebelummu (Muhammad), melainkan Kami memberi wahyu kepadanya, yaitu bahwa tiada Tuhan melainkan Aku, karena itu Aku sajalah yang wajib kalian sembah. (QS.21 Al Anbiya: 25).

Wahyu yang disampaikan oleh para nabi berasal dari kata waha-yahi-wahyan, yang berarti isyarat yang cepat yang disampaikan Tuhan kepada mahluk-Nya. Wahyu dalam bentuknya tertinggi merupakan firman (kalam) Tuhan yang dianugerahkan pada setiap nabi/rasul-Nya. Adapun dari seluruh wahyu yang ada, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi empat macam sebagai berikut:

Pertama,
wahyu yang merupakan perintah untuk alam, yang dikenal dengan nama Sunnah Allah atau hukum-hukum Tuhan yang berlaku untuk alam semesta.

Selanjutnya Dia menuju penciptaan langit, ketika itu masih merupakan gas seperti asap. Lalu Tuhan berfirman kepadanya dan kepada bumi sekaligus: “Datang kalian keduanya menjelma, baik dengan jalan patuh, maupun dengan jalan paksa!” Keduanya menjawab: “Kami segera menjelma dengan patuh”. (QS. 41 Al Fushilat: 11)

Dengan demikian segala gerak kehidupan atau peristiwa alam berlangsung menurut hukum Tuhan, karena alam tunduk dan patuh secara total kepada wahyu Tuhan tersebut. Sebagai contoh, di dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat pengaruh gravitasi terhadap benda yang apabila jatuh maupun arah aliran air yang selalu mengalir ke tempat yang letaknya lebih rendah.

Kedua,
wahyu yang merupakan perintah kepada binatang, seperti wahyu untuk lebah agar membuat sarang di gunung-gunung, pada pe-pohon-an serta ditempat-tempat yang dibangun manusia.

Dan Tuhan mewahyukan kepada lebah: “Bersaranglah di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan pada bangunan-bangunan lainnya yang dibuat manusia.
Dan makanlah olehmu bermacam-macam sari buah-buahan, serta tempuhlah jalan-jalan yang telah ditentukan oleh Tuhanmu dengan lancar. Dari perut lebah itu keluar minuman berupa madu yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang mujarab untuk manusia. Sesungguhnya pada hal-hal yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Tuhan bagi orang-orang yang mau berfikir.
(QS. 16 An Nahl: 68-69).

Wahyu yang untuk binatang merupakan penjelasan tentang tabiat atau gerak instinktif atau naluri.

Ketiga,
wahyu yang diperuntukkan bagi malaikat yang berfungsi untuk meningkatkan dan meneguhkan keimanan manusia.

Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat bala-bantuan itu: “Bahwa Aku besertamu. Perkuatlah jiwa orang-orang yang beriman. Nanti akan Aku cetuskan rasa takut dalam hati orang-orang kafir. Penggallah kepala mereka dan tetaklah tangannya. (QS. 8 Al Anfal: 12)

Keempat,
wahyu yang diperuntukkan kepada manusia yang proses pewahyuannya dapat dibedakan menjadi tiga cara. Mengenai pewahyuan terhadap manusia ini, Tuhan menjelaskannya sebagai berikut:

Dan tidak mungkin bagi seorang manusia yang jika Tuhan hendak berbicara kepadanya, kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tirai, atau dengan mengutus seorang utusan dan mewahyukan dengan izin-Nya apa yang Dikehendaki-Nya.Sungguh Dia Maha Tinggi dan Maha Bijaksana. (QS. 42 Asy Syuraa: 51).

Dengan demikian bentuk wahyu yang disampaikan kepada manusia dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

Ke-satu, dengan cara Tuhan menyampaikan wahyu dalam bentuk aslinya (isyarah al syari’ah), yakni Tuhan memberikannya isyarat dalam bentu ide, gerak, atau petunjuk yang dibisikkan kedalam kalbu, seperti halnya wahyu yang diberikan kepada Ibu Nabi Musa dan kepada Hawariyyun atau pengikut-pengikut Nabi Isa yang setia:

Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa:”Susukanlah dia sedapat-dapatmu, namun bila kamu merasa khawatir atas keselamatannya, hanyutkanlah dia ke dalam sungai Nil. Jangan engkau merasa khawatir dan dukacita, sebab pasti Kami akan mengembalikannya kepadamu untuk disusukan, dan selanjutnya menjadikan dia sebagai rasul. (QS. 28 Al Qashash: 7).

Ketika Kami mengilhami ibumu untuk sesuatu tugas mulia yang mesti diperankan.
Masukkanlah bayimu Musa itu ke dalam peti, lalu hanyutkanlah peti itu ke sungai Nil, arus sungai itu akan mendamparkannya ketepi, sehingga diambil oleh musuh-Ku dan musuhnya yaitu Fir’aun. Aku limpahkan kepadamu kasih sayang-Ku, supaya engkau diasuh di bawah pengawasan-Ku. (QS.20 Thaa Haa: 38-39).

Lalu ingat pulalah, ketika Aku ilhamkan kepada kaum Hawari pengikut-pengikut Isa yang setia:”Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku!”. Mereka menjawab: “Kami telah beriman dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri kepada-Mu. (QS. 5 Al Ma’idah: 111).

Wahyu-wahyu yang disampaikan dengan cara yang demikian ini disebut wahy khafi atau wahyu batin. Hadis-hadis Nabi termasuk dalam kategori wahyu jenis ke-satu ini, yakni untuk membedakannya dengan wahyu yang kemudian berbentuk ayat yang disampaikan dengan perkataan. Wahyu batin ini adalah wahyu yang dianugerahkan Tuhan kepada seluruh manusia, baik Nabi maupun yang bukan Nabi. Namun bisikan yang mengarah pada terjadinya kejahatan bukanlah wahyu batin, dan untuk itu Al Qur’an menjelaskannya sebagai berikut:

Dan begitulah, Kami adakan musuh-musuh untuk masing-masing nabi, yaitu manusia-manusia setan dan jin, yang sebagian mereka membisikkan kata-kata berbunga kepada yang lain untuk menipu. Jika Tuhanmu menghendaki, tentu mereka tidak akan berbuat demikian. Sebab itu biarkan sajalah mereka berlarut-larut dengan kebohongan yang mereka buat-buat itu. (QS. Al An’aam: 112).

Dengan adanya bisikan-bisikan tersebut, tidak mustahil orang merasa mendapat wahyu, padahal yang dia terima itu disebut sebagai was-was setan atau limmah. Untuk membedakan kedua macam bisikan tersebut, Al Qur’an menyebutkan perbedaannya sebagai berikut:

Setan itu menakut-nakuti kamu akan jatuh miskin dan menyuruh kamu berbuat yang tidak baik. Sedangkan Tuhan menjanjikan ampunan dan Karunia-Nya kepadamu. Tuhan Maha luas karunia-Nya dan Maha Mengetahui. (QS. 2 Al Baqarah: 268).

Ke-dua, adalah wahyu yang disampaikan dari belakang tirai (min wara’l hijab), yakni Tuhan di dalam mewahyukan melalui ru’yah (impian), kassyaf (vision atau pemandangan gaib di balik alam nyata) dan ilham (mendengar suara atau mengucapkan kata-kata dalam keadaan perpindahan untuk sementara waktu ke alam rohani, yakni dalam keadaan tidur dan jaga).
Dengan demikian orang yang dapat mendapatkan wahyu dari belakang tirai diperlihatkan kepada suatu impian atau vision yang mempunyai arti lebih dalam dari apa yang sekedar terlihat dalam impian atau vision itu, tetapi arti itu seakan-akan diselubungi. Oleh karena itu si penerima wahyu harus mencari arti impian itu dari belakang tirai.
Wahyu jenis ini bukan hanya diterima oleh nabi saja, tetapi manusia biasa juga dapat menerimanya. Sebagai contoh adalah impian dua orang pemuda pada saat Nabi Yuusuf masih di penjara, yang seorang pemeras anggur dan seorang lagi pembawa roti dikepalanya yang kemudian sebagian dimakan oleh burung. Nabi Yuusuf menerjemahkan mimpi pemeras anggur tersebut dengan mengatakan bahwa kelak dia akan menjadi pelayan minum tuannya, sedangkan kepada pembawa roti dikatakan bahwa kelak dia akan disalib dan sebagian kepalanya dimakan burung. Dan memang begitulah yang kemudian terjadi.

Ke-tiga, adalah wahyu yang khusus dianugerah kepada para nabi/rasul, yang disebut sebagai wahy matluw atau wahyu yang dibacakan, karena wahyu ini merupakan firman (kalam) Allah yang dibacakan kepada para nabi/rasul oleh utusan-Nya, malaikat Jibril. Wahyu Tuhan kepada para nabi/rasul merupakan wahyu yang tertinggi, karena wahyu itu memberikan penjelasan yang sempurna tentang kehidupan yang benar. Karena itu wahyu jenis ini disebut sebagai wahy syar’I atau wahyu agama. Dengan demikian wahyu jenis ini sudah berhenti pada Nabi Muhammad, sedangkan wahyu jenis lain akan turun terus kepada setiap manusia hingga akhir jaman.

Berdasarkan atas pemahaman nabi/rasul dan wahyu yang seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya misi seorang nabi/rasul adalah melakukan transformasi wahyu atau pengetahuan untuk kepentingan kehidupan seluruh umat manusia. Oleh karena itu, keberadaan nabi/rasulnya tersebar di seluruh penjuru dunia secara silih berganti, dan berhenti pada Nabi Muhammad yang merupakan Nabi Penutup.
Berkaitan dengan hal tersebut, Nabi Muhammad sendiri waktu menjawab pertanyaan salah satu sahabat, menyatakan bahwa jumlah seluruh nabi-nabi yang pernah ada mencapai 124 ribu yang keberadaannya tersebar pada berbagai belahan penjuru dunia. Terhadap jumlah Nabi-nabi yang begitu banyak, Al Qur’an sendiri menyatakan bahwa keberadaan seluruh nabi-nabi tidak semuanya dijelaskan di dalamnya,

Dan sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul sebelummu, di antara mereka ada yang Kami kisahkan kepadamu, dan di antara mereka ada yang tidak kami kisahkan kepadamu. Dan tiadalah ada bagi seorang rasul suatu mukjizat kecuali dengan izin Allah, maka apabila telah datang ketentuan Allah, diputuskanlah dengan benar. Dan rugilah di sana orang-orang yang berbuat kebathilan. (QS. 40 Al Mu’min: 78).

Penyebaran nabi-nabi pada berbagai penjuru dunia menunjukkan bahwa wahyu yang diterima setiap nabi tidak disampaikan dalam bahasa yang sama, tetapi disampaikan dalam bahasa yang dipakai oleh masyarakat dimana nabi yang bersangkutan berada. Keberagaman bahasa yang terjadi di dalam proses pewahyuan dilakukan dengan tujuan agar wahyu tersebut dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat pengguna bahasa tersebut sehingga dapat diimplementasikan di dalam kehidupan nyata.

Kami tidak pernah mengutus seorang rasulpun, kecuali dengan bahasa bangsanya sendiri, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan mudah terhadap mereka. Namun Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan menunjuki orang-orang yang dikehendakinya pula. Dialah yang Maha Kuasa dan Bijaksana. (QS. 14 Ibrahim: 4).

Dengan demikian wahyu yang turun tersebut dimaksudkan agar tidak sekedar menghasilkan kearifan religius saja tetapi sekaligus juga dapat menghasilkan manusia yang mempunyai kearifan sosial. Meskipun proses pewahyuan menggunakan bahasa yang berbeda-beda, tetapi karena sumber wahyunya sama, Tuhan Yang Maha Esa, maka meskipun obyeknya adalah masyarakat dengan kehidupan sosial-budayanya yang berbeda satu sama lain, tetapi hakikat dari wahyu-wahyu tersebut pada dasarnya adalah sama.  

Sesungguhnya Agama Tunggal ini hai Para Nabi, adalah agama untukmu semua dan Akulah Tuhanmu sekalian! Sebab itu bertakwalah kepada-Ku.(QS. 23 Al Mu’minuun: 52)

Terjadinya perbedaan di dalam proses pewahyuan tersebut, bukan sekedar terjadi pada faktor ruang atau masyarakat yang berbeda, tetapi perbedaan tersebut juga terjadi pada faktor waktu. Perbedaan ruang mengisyaratkan adanya perbedaan budaya, yang pada ayat tersebut di atas dijelaskan dengan proses pewahyuan yang disampaikan dalam bahasa yang berbeda satu sama lain. Sedangkan perbedaan waktu berhubungan dengan dinamika yang terjadi pada perkembangan masyarakat.

Melihat proses pewahyuan yang demikian tadi, maka dapat disebutkan bahwa misi dari para nabi-nabi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu misi jangka pendek dan misi jangka panjang. Misi jangka pendeknya adalah untuk meluruskan kembali perilaku kehidupan masyarakat yang telah menyimpang dari asas-asas kebenaran yang telah disampaikan oleh nabi sebelumnya. Adapun misi jangka panjangnya adalah melakukan transformasi pengetahuan sebagai dasar bagi pemahaman terhadap wahyu atau pengetahuan yang akan disampaikan oleh nabi-nabi selanjutnya.
Padahal, suatu proses transformasi pengetahuan yang bertahap dan berkesinambungan pada dasarnya merupakan proses peradaban. Proses yang berjenjang atau bertahap menjelaskan tentang adanya proses penyesuaian antara wahyu (pengetahuan) yang diturunkan Tuhan dengan kapasitas intelektual masyarakat yang menjadi obyek proses pewahyuan tersebut. Penguasaan atau pemahaman terhadap pengetahuan akan menghasilkan kearifan. Semakin tinggi tingkat penguasaan atau pemahaman pengetahuan, baik dalam pengertian kwantitas maupun kwalitas, akan menyebabkan terjadinya peningkatan kearifan. Perkembangan kearifan yang demikian ini terlihat pada setiap nabi, seperti yang dijelaskan oleh ayat berikut ini.

Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka dari yang lain, di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung kepada dia) dan sebagiannya Allah meningangkat kemuliaannya beberapa derajat. Kami berikan kepada Isa’ putera Maryam beberapa mujizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya orang-orang yang berada sepeninggal rasul-rasul itu tidaklah akan berbunuh-bunuhan setelah datang kepada mereka beberapa keterangan. Namun mereka berselisih juga, ada di antara mereka yang beriman dan ada pula yang kafir. Jika Allah menghendaki mereka tidak akan berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya. (QS.2 Al Baqarah: 253).

Kesinambungan yang terjadi pada proses pewahyuan, seharusnya membuat manusia tidak hanya terpaku kepada ajaran nabi-nabi terdahulu atau tertentu serta menjadikannya sebagai tradisi. Apalagi bila pemahaman yang telah mentradisi tersebut kemudian dibakukan dan dianggap berlaku sepanjang jaman, maka yang terjadi adalah kemacetan atau kemandekan pemahaman. Sementara itu realitas terus berkembang, semakin lama semakin cepat, semakin beragam dan komplek. Akhirnya yang terjadi adalah terjadinya jurang yang semakin lama semakin lebar antara hasil kajian keagamaan dengan realitas.
Meskipun demikian, Tuhan tetap mememberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan sendiri ajaran-ajaran yang menjadi pilihan keyakinannya. Tuhan hanya memperingatkan meskipun terjadi perbedaan dalam pemilihan keyakinan, tetapi perbedaan tersebut hendaknya tidak membuat manusia menjadi terkotak-kotak atau terpecah belah dan kemudian bermusuhan satu sama lain. Sebab bagaimanapun juga, semuanya masih bersumber pada sumber yang sama, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dan kepada setiap Muslim, umat dari nabi yang merupakan mata rantai terakhir di dalam proses ke-nabi-an tersebut, Tuhan memerintahkannya sebagai berikut.

Allah telah menetapkan untuk kamu sekalian inti-inti agama yang sama seperti yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) serta yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahiim, Musa dan Isa, pokok-pokok isinya sama, yaitu “Tegakkanlah agama tauhid ini dan janganlah kamu berpecah belah dalam agama itu.” Amat berat bagi orang-orang musyrik itu menerima agama yang kamu serukan mereka kepadanya. Allah memilih siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada orang yang ingin kembali kepada-Nya.(QS. 42. Asy Syura: 13).

Kesadaran terhadap kebebasan manusia di dalam menentukan sendiri sikap hidupnya, merupakan realisasi dari bentuk keimanan dan penghormatan terhadap setiap nabi/rasul, merupakan aspek yang menonjol dari akidah Islam.

Katakanlah hai orang-orang mukmin “Kami beriman kepada Allah dan wahyu yang diturunkan kepada kami, dan wahyu yang diturtunkan kepada Ibrahiim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, begitu juga yang diturunkan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada Nabi-nabi dari Tuhannya, kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka. Dan kami adalah orang yang menyerahkan diri kepada-Nya”.
Jika mereka beriman seperti imanmu, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling tidak beriman seperti imanmu, sesungguhnya mereka berada dalam suasana permusuhan dengan kamu. Allah akan memeliharamu dari kejahatan mereka. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.2 Al Baqarah: 136-137).

Rasul itu telah beriman kepada Kitab yang diturunkan dari Tuhannya kepadanya, demikian juga kaum mukminin. Semuanya telah menyatakan beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, dan semua Rasul-Nya dan mereka mengatakan: Kami tidak membedakan antara seorang pun dari para Rasul-Nya. Mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat. Mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami! Ampunilah kami, kepada Engkau-lah tempat kembali”. (QS. 2 Al Baqarah: 285).

Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya serta tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan Allah adalah Maha Pengampun dan Penyayang. (QS. 4 An Nisaa’: 152).

Sedangkan terhadap orang yang hanya beriman kepada sebagian nabi dan menolak sebagian nabi lagi dimasukkan dalam kategori kafirun haqqan atau orang-orang yang sebenar-benarnya kafir.

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya serta hendak membeda-bedakan antara Allah dan Rasul-rasul-Nya itu, yang terbukti dari ucapannya: “Kami percaya kepada sebagian Rasul dan tidak percaya kepada sebagian yang lain”, dan mereka yang hendak mengambil jalan tengah di antara itu.
Mereka orang kafir yang sebenarnya. Kami telah menyediakan untuk orang kafir itu siksaan yang menghinakan. (QS. 4 An Nisaa’: 150-151).

Perintah untuk tidak berpecah belah merupakan perintah untuk menjaga agar hubungan silahturahmi tetap dapat berlangsung dengan baik. Dengan masih terjalinnya silahturahmi memungkinkan sekali untuk terjadinya proses transformasi pengetahuan secara arif bijaksana. Akan tetapi penyampaian informasi secara verbal saja masih kurang effektif apabila tidak disertai dengan contoh sikap ketauladanan kearifan di dalam kehidupan riil. seperti yang diisyaratkan oleh QS. 4 An Nisaa’: 152 tersebut di atas.

Mengenai proses kenabian sebagai satu kesatuan mata rantai yang utuh, yang saling berkesinambungan antara satu dengan lainnya, dapat dengan jelas dilihat pada susunan Kitab Injil yang terdiri atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian Lama berisi kisah para nabi-nabi, dimulai dari Nabi Adam sampai dengan Nabi Yahya. Artinya, bahwa isi Perjanjian Lama tersebut sebenarnya juga meliputi seluruh nabi-nabi, mulai dari Nabi Adam sebagai nabi pertama sampai dengan Nabi Yahya sebagai nabi terakhir sebelum Nabi Isa atau Yesus Kristus. Sedangkan Perjanjian Baru secara khusus menjelaskan tentang ajaran Yesus Kristus atau Nabi Isa. Selain itu, Misi kenabian Nabi Isa selain mengoreksi ajaran-ajaran nabi-nabi sebelumnya yang telah diselewengkan oleh para pendeta Yahudi, juga menyampaikan pengetahuan atau risalah tentang manusia dan kemanusiaannya, yang merupakan pelengkap dari seluruh ajaran-ajaran nabi sebelumnya.

Sedangkan di dalam Islam, hal tersebut dapat dipahami melalui Rukun Iman ke tiga dan ke-empat. Rukun Iman ke-tiga adalah kewajiban beriman kepada Nabi-nabi. Dengan tidak disebutkannya nama Nabi secara khusus, berarti kewajiban beriman tersebut ditujukan kepada semua Nabi-nabi. Dari Nabi-nabi yang jumlahnya mencapai 124.000 tersebut, terdapat 25 Nabi yang wajib diketahui, yaitu Adam sebagai Nabi pertama, , Yahya sebagai nabi ke`23, Isa sebagai Nabi ke 24 dan Muhammad sebagai Nabi Pamungkas atau yang ke 25. Rukun Iman yang ke-empat menyangkut kewajiban beriman bukan kepada Al Qur’an saja, tetapi juga disebutkan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, seperti Taurat, Zabur, Injil serta Kitab-kitab lainnya, seperti yang dijelaskan oleh ayat berikut ini.

Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Al Baqarah: 4-5).

Pengakuan keimanan tersebut juga dilakukan terhadap para nabi-nabi, termasuk Nabi Muhammad. Nabi yang terdahulu mengimani nabi-nabi yang selanjutnya dan juga sebaliknya. Seperti Nabi Muhammad juga mengimani kebenaran wahyu-wahyu yang telah diterima oleh para pendahulunya.

Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian para nabi, “Sekalipun kamu sudah Aku beri kitab dan pengertian yang mendalam, tetapi nanti bila datang seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, hendaklah kamu percaya (beriman) kepadanya dan menolongnya. Allah berfirman: “Maukah kamu mengucapkan ikrar melaksanakan perjanjian-Ku itu ? Mereka menjawab:”Mau, kami menyatakan ikrar” . Allah berfirman:” Hendaklah kamu menjadi saksi! Akupun menjadi saksi pula bersama-sama kamu”. (QS.3 Ali Imran:81).

Terdapatnya benang merah yang menghubungkan antara hakikat dari pengetahuan yang disampaikan antara Nabi yang satu dengan lainnya menunjukkan adanya suatu proses transformasi pengetahuan yang berkesinambungan, satu sama lain saling terkait seperti mata rantai. Bagi Nabi yang merupakan mata rantai terakhir dari proses ke-nabi-an tersebut, maka seluruh wahyu yang diterimanya akan meliputi seluruh wahyu-wahyu yang telah diterima Nabi-nabi sebelumnya yang berasal dari seluruh pelosok dunia.

Dikarenakan sifat wahyu-wahyu yang diterimanya yang berasal dari seluruh penjuru bumi tersebut, membuat posisi Nabi Muhammad menjadi berbeda dengan nabi-nabi lainnya. Apabila nabi-nabi lainnya diutus untuk satu umat tertentu, maka Nabi Muhammad merupakan satu-satunya nabi yang diutus untuk seluruh umat manusia dan oleh karena itu Kitab-nya juga berlaku untuk setiap manusia sampai pada akhir zaman. Sebagai Kitab dari Nabi terakhir, Al Qur’an merupakan Kitab yang terlengkap dan oleh karena itu dapat menjelaskan semua pengetahuan yang terdapat pada Kitab-kitab sebelumnya.

Muhammad itu bukan hanya bapak dari seorang laki-laki di antaramu, tetapi dia adalah Rasul Allah Bapak Seluruh Umat, Penutup para Nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. 33 Al Ahzab: 40).

Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk (Al Qur’an) dan agama yang benar, untuk dibuktikan-Nya keunggulannya di atas dari semua agama, sekalipun orang-orang musyrik itu tidak menyukainya. (QS. 9 At Taubah: 33).

Dialah yang mengutus Rasul-Nya membawa petunjuk dan agama Islam yang benar agar Islam itu nyata keunggulannya melebihi semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. (QS. 48 Al Fath: 28)

Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama walaupun dibenci orang-orang musyrik. (QS.61 Ash Shaff: 9).

Kesempurnaannya itu sendiri secara jelas disebutkan dalam wahyu-Nya yang terakhir kali diterima Nabi Muhammad, yang menyatakannya sebagai berikut,

Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmatku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi agama bagimu. (QS.5 Al Ma’idah:3)

Al Qur’an sebagai Kitab dari Nabi Muhammad yang merupakan mata rantai penutup dari proses ke-nabi-an, merupakan Kitab yang paling lengkap dan paling sempurna, oleh karena itu dapat menjelaskan seluruh pengetahuan dan Kitab-kitab yang telah disampaikan kepada seluruh Nabi-nabi. Sebaliknya, karena kekurang sempurnaan isinya maka seluruh Kitab dari nabi-nabi sebelumnya tidak dapat menjelaskan kandungan pengetahuan yang terdapat pada Al Qur’an. Oleh adanya sifat Al Qur’an yang demikian, maka seharusnya kaum Muslimin dapat bersikap lebih arif terhadap perbedaan dan lebih responsible terhadap pemikiran-pemikiran yang kritis, logis dan realistis, yang bertujuan untuk lebih meningkatkan pemahaman tentang kehendak Tuhan terhadap kehidupan manusia dan alam semesta.
Selain itu terangkumnya seluruh wahyu dari para Nabi-nabi dalam sebagai sebuah Kitab, merupakan penjelasan tentang ke-esa-an Tuhan, dan oleh katrena itu agama yang diturunkan kepada manusia juga hanya satu, yaitu Islam.

Kata Islam sendiri berasal dari kata aslama-yuslimu-islam, artinya menyelamatkan, masuk dalam keselamatan, menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Apabila arti Islam yang demikian tadi dipakai untuk melihat setiap agama-agama besar yang ada sekarang ini, maka pertanyaannya adalah, apakah ada agama yang tidak mengajarkan hal tersebut kepada umatnya masing-masing, yaitu sikap kepasrahan, ketertundukan dan kepatuhan di dalam menjalani kehidupan ini agar dapat melaksanakan kehidupannya sesuai dengan kehendak Tuhan, yaitu mencapai kehidupan yang selamat dan sejahtera, baik di dunia maupun di akhirat nanti ? Menurut istilah, Islam adalah agama (din) yang diwahyukan Tuhan kepada para Nabi dan Rasul-nya agar menjadi pedoman hidup bagi manusia, yang akan mendatangkan kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Kalau memang demikian, maka sejarah kenabian dapat disebut sebagai sejarah proses perkembangan peradaban manusia.


Ke-universal-an Al Qur’an Dan Kebudayaan
Di dalam suatu karya terkandung kehendak dari penciptanya. Kehendak maupun anjuran menjelaskan adanya suatu tujuan, sebab tujuan merupakan wujud riil dari kehendak. Agar kehendak tersebut dapat terrealisasi, maka yang diperlukan adalah komunikasi antara subyek yang berkehendak dengan obyek yang menjadi tujuan kehendak tersebut.

Tuhan adalah entitas yang transenden, keberadaannya melampaui ruang dan waktu serta mengatasi keberhinggaan. Lain halnya dengan keberadaan manusia sebagai mahluk yang terbelit dalam imanensinya. Sebagai yang berkehendak, maka untuk menyatakan kehendak-Nya kepada manusia, Tuhan melakukan komunikasi yang disampaikan melalui suatu mediasi yang kemudian disebut sebagai proses pewahyuan. Pesan apapun yang disampaikan oleh Tuhan yang transenden agar dapat dipahami oleh manusia yang imanen, maka alat komunikasinya atau bahasa yang dipakai harus disesuaikan dengan bahasa manusia. Apabila tidak demikian, maka mustahil manusia mampu menangkap pesan-pesan tersebut, sebab antara Tuhan dengan manusia, keduanya berada dalam dimensi atau alam yang berbeda karakteristiknya.

Ketika bahasa yang dipakai komunikasi adalah bahasa manusia, maka pesan tersebut akan muncul dalam bentuknya yang beragam, sesuai dengan hakekat kemajemukan sistim nilai budaya yang ada di dalam kehidupan manusia itu sendiri. Setiap budaya yang ada masing-masing mempunyai spesifikasinya sendiri-sendiri, sebab terbentuknya suatu budaya tidak terlepas dari pengaruh yang kuat dari faktor ruang atau lingkungan dimana proses kehidupan masyarakat tersebut berlangsung. terjadinya perbedaan pada perilaku di dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pengertian budaya sendiri pada masa sekarang ini seringkali direduksi, sehingga oleh masyarakat kebudayaan seringkali hanya dipahami sebatas kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan kesenian dan tradisi saja, Atau memang demikian halnya?

Kata budaya berasal dari kata budi dan daya yang kemudian dijadikan satu kata untuk memadatkan maknanya sehingga membentuk satu pengertian yang baru, namun tidak keluar dari pengertian kata-kata asalnya. Kata budi di antaranya memiliki makna akal untuk mempertimbangkan dan membuat keputusan apakah sesuatu itu baik atau buruk. Sedangkan arti daya di antaranya adalah kekuatan atau pengaruh.
Setelah kedua kata tersebut dijadikan satu, maka kemudian artinya berkembang menjadi kesadaran menuju kebaikan. Di dalam sebuah konsep humanistik, budaya di sebutkan sebagai sesuatu yang membuat kehidupan menjadi lebih bernilai untuk ditempuh. Di dalam pernyataan tersebut, terkandung pengertian bahwa budaya merupakan suatu sistim informasi yang meliputi seluruh aspek kehidupan yang keberadaannya terwujud karena perkembangan norma-norma kehidupan yang ada di masyarakat yang bersangkutan serta lingkungannya.

Sedangkan yang dimaksud dengan norma-norma kehidupan tersebut, dapat dipahami sebagai:
1. alam pikir
2. alam budi
3. alam tata susila
4. alam seni
5. alam karya

Proses pemikiran atau aktifasi dari alam pikir yang dilakukan terhadap suatu ide akan menghasilkan apa yang disebut sebagai hasil pemikiran. Untuk menentukan apakah hasil pemikiran tersebut akan direalisasikan menjadi suatu kegiatan, maka fungsi filtrasi dari alam budi dan alam tata susila akan sangat berpengaruh di dalam menentukan apakah proses realisasi hasil pemikiran menjadi kegiatan akan dilaksanakan atau tidak. Apabila hasil pemikiran tersebut dianggap sudah memenuhi nilai-nilai kebenaran menurut alam budi dan alam tata susila maka hasil pemikiran tersebut akan diputuskan untuk direalisasikan. Tetapi bila yang terjadi adalah kebalikannya, maka hasil pemikiran tersebut tidak akan diteruskan agar menjadi suatu kegiatan atau tindakan. Setelah keputusan untuk melaksanakan hasil pemikiran menjadi kegiatan atau tindakan dibuat, maka yang berperan selanjutnya adalah alam seni yang menyangkut estetikanya dan alam karya yang menentukan dengan cara yang bagaimana proses realisasi tadi akan diwujudkan.

Bilamana proses realisasi tersebut mendapat tanggapan yang positip dari masyarakat, maka yang akan terjadi adalah proses pengulangan yang kemudian akan menjadi kebiasaan. Hasil karya yang benar dan baik cenderung akan diikuti oleh masyarakat. Pengulangan suatu kegiatan oleh masyarakat akan menghasilkan kebiasaan masyarakat, yang apabila dilembagakan maka kebiasaan masyarakat ini kemudian disebut sebagai adat istiadat atau tradisi. Terjadinya interaksi antara masyarakat yang satu dengan yang lain, atau suatu budaya dengan budaya lain, akan menimbulkan konflik-konflik yang menyangkut ke-lima norma-norma kehidupan tadi. Konflik yang terjadi apabila disikapi secara arif merupakan masukan-masukan yang dapat mengakibatkan terjadinya perkembangan yang dinamis pada tradisi yang sudah ada pada masyarakat. Melalui proses pembelajaran dan pemerkayaan terhadap tradisi yang ada, maka terbentuklah budaya masyarakat.
Dengan demikian, norma-norma kehidupan yang telah menjadi tradisi pada dasarnya merupakan akar dari budaya masyarakat. Sehingga, sejauh apapun perkembangan budaya yang terjadi seharusnya tidak keluar atau tercabut dari akarnya.

Ketika pelaksanaan akal, budi serta karya manusia dilandasi dengan kesadaran etik dan estetika, maka ditangan manusia yang demikian itu, potensi alam benar-benar mendapatkan arti dan maknanya bagi kehidupan seluruh manusia. Dengan demikian, adanya sebutan bahwa manusia adalah mahluk budaya mempunyai pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan perilaku manusia. Dalam kebudayaan, tercakup seperangkat nilai-nilai yang menjadi dasar pokok manusia untuk menentukan sikapnya, bahkan untuk mendasari setiap langkah yang hendak dan harus dilakukan sehubungan dengan pola hidup dan tata cara kemasyarakatan dan lingkungannya maupun terhadap dunia.

Demikian luasnya cakupan yang terkandung di dalam budaya manusia, sehingga timbul pertanyaan, mengapa di dalam kajian agama keberadaan faktor budaya atau kebudayaan tersebut hampir tidak pernah disinggung. Bagaimana mungkin predikat Al Qur’an sebagai Pedoman Hidup seluruh umat manusia akan terrealisasi apabila tidak membudaya. Padahal sebagai Pedoman Hidup, Al Qur’an harus sudah berperan aktif di dalam membimbing dan mengarahkan manusia di dalam mengaktualisasikan alam pikir, alam budi, alam tata susila, alam seni dan alam karyanya. Selain itu, Al Qur’an sendiri telah menegaskan tentang keberadaan budaya tersebut pada salah satu ayatnya, sehingga keberadaan budaya yang sangat beragam ini pada dasarnya merupakan sunatullah atau tanda-tanda kekuasaan Tuhan yang harus dipatuhi.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang lebih bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.
(QS. 49 Al Hujurat: 13).

Terjadinya interaksi antar manusia dengan latar belakang budaya yang beragam akan mengakibatkan terjadinya konflik-konflik kebudayaan yang pada dasarnya merupakan kondisi dinamis yang terbentuk oleh adanya interaksi tersebut.
Melalui konflik yang terjadi masyarakat dapat belajar untuk saling mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya.
Melalui perbedaan yang ada tersebut, masyarakat dapat mengembangkan dan sekaligus meningkatkan kwalitas kehidupannya sendiri, tanpa harus disertai dengan mengorbankan sistim kehidupan sosial budaya aslinya. Sebab nilai-nilai tradisi yang ada pada suatu budaya sebenarnya merupakan jati diri atau identidentitas suatu masyarakat dan itu adalah anugerah Tuhan.

Dari uraian tersebut di atas, maka pemahaman terhadap istilah Orang Beriman sebagai orang yang bertakwa mempunyai pengertian yang lebih spesifik, yaitu manusia yang sikap hidupnya terbentuk oleh cara berfikirnya yang selalu berdasarkan atas kesadaran dirinya terhadap faktor ruang dan waktu kehidupannya. Kesadaran terhadap ruang membuat manusia tersebut sadar dan konsisten dengan sistim nilai-nilai budaya darimana dia berasal maupun sistim nilai yang berlaku dimana manusia tersebut sedang berada. Adapun kesadaran terhadap waktu membuat cara pandang, cara berfikir dan sikap hidupnya menjadi dinamis, sehingga selalu mampu beradaptasi dengan harmonis terhadap setiap lingkungan dimana dia berada. Dimanapun dia berada, sikapnya tetap menunjukkan nilai-nilai budaya aslinya dengan tidak mengabaikan sistim nilai-nilai budaya yang berlaku di masyarakat dimana pada saat tersebut dia berada. Kemampuannya beradaptasi yang demikian tadi menunjukkan sampai berapa jauh kemampuan penguasaan lingkungannya.

Berdasarkan atas hal tersebut, sebenarnya wahyu-wahyu yang disampaikannya para nabi-nabi merupakan informasi atau pengetahuan yang dapat dipakai untuk me-modernisasi-kan kehidupan suatu masyarakat. Dikatakan demikian sebab modernisasi merupakan proses pen-canggih-an atau pengembangan dan peningkatan sistim nilai sosial budaya yang tetap berakar pada nilai-nilai tradisi.
Oleh sebab itu, efek modernisasi meskipun dapat mengakibatkan terjadinya perkembangan pada sistim kehidupan sosial budaya suatu masyarakat, tetapi tidak akan membuat manusia tercabut dari akar budaya aslinya dan kemudian menjadi asing terhadap nilai-nilai budaya asalnya. Perkembangan dan peningkatan yang terjadi justru akan semakin memperkokoh keberadaan atau eksistensi budaya suatu masyarakat di dalam perkembangan kehidupan yang juga terjadi pada masing-masing budaya yang ada secara menyeluruh.

Perbedaan yang selalu terjadi merupakan kondisi yang kondusif untuk terjadinya perkembangan yang dinamis di dalam kehidupan manusia yang semakin lama semakin heterogen dan semakin komplek. Potensi yang demikian ini terdapat pada Al Qur’an mengingat bahwa Al Qur’an secara hakikat merangkum seluruh pengetahuan nabi-nabi yang berasal dari berbagai penjuru dunia, selain pengetahuan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad sendiri sebagai pelengkap atau penyempurna dari seluruh pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.

Segala sesuatu yang ada di dunia ini, termasuk seluruh agama yang ada, semuanya bersumber pada sumber yang satu, yaitu Tuhan Yang Esa. Oleh karena itu seluruh agama pada hakekatnya merupakan Agama Tunggal, karena memang berasal dari sumber yang sama. Dengan demikian, sebagai Kitab dari Nabi terakhir, maka pengertian Al Qur’an yang disebutkan diturunkan secara bertahap bukan hanya terjadi pada masa ke-nabi-an Nabi Muhammad saja, tetapi juga bertahap sejak Nabi Adam sebagai Nabi pertama dan berlanjut terus dengan Nabi-nabi lainnya yang akhirnya berhenti pada Nabi Isa.

Apabila ditinjau dari fakta-fakta sejarah, setiap proses pewahyuan pada masa Nabi Muhammad selalu di awali dengan kasus yang aktual. Fakta sejarah tersebut diantaranya menjelaskan, bahwa karena turunnya wahyu merupakan respon terhadap suatu masalah yang aktual, maka wahyu juga mempunyai sifat realistis dan oleh karena itu logis. Selain itu karena wahyu yang turun berbahasa Arab, maka meskipun pada satu sisi wahyu yang diterima Nabi Muhammad secara hakikat bersifat universal, tetapi pada sisi lainnya juga bersifat kontekstual.

Kami turunkan berupa Al Qur’an dalam bahasa Arab, supaya kamu dapat memahaminya. (QS. 12 Yusuuf: 2)

Sesungguhnya Kami menurunkan Al Qur’an itu dengan bahasa Arab, supaya kamu dapat memahaminya. (QS. 43 Az Zukhruf: 3).

Bahasa adalah salah satu elemen kebudayaan. Proses pewahyuan yang pelaksanaannya dilakukan dengan bahasa yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang dipakai oleh masyarakat, mempunyai tujuan agar wahyu tersebut dapat dipahami dan kemudian diimplementasikan di dalam realitas sesuai dengan cara pandang, cara berfikir oleh umat dari setiap nabi yang bersangkutan.
Sebab budaya itu merupakan suatu sistim informasi yang obyeknya meliputi seluruh aspek-aspek kehidupan suatu masyarakat. Proses pewahyuan yang merupakan proses transformasi pengetahuan tersebut akan mengakibatkan terjadinya transmutasi budaya, yaitu dari budaya yang awalnya lebih sederhana menjadi budaya yang lebih tinggi, bukan proses eliminasi terhadap eksistensi atau keberadaan suatu budaya yang sudah ada, sehingga dapat berakibat pada tercabutnya masyarakat dari nilai-nilai tradisi yang berasal dari budaya asalnya. Sebab bagaimanapun juga keberadaan budaya yang sangat heterogen tersebut juga merupakan hasil kretivitas intelejensia Tuhan.

Bahasa adalah salah satu unsur budaya yang dapat difungsikan sebagai suatu media yang digunakan untuk mengumpulkan dan memahami pengetahuan yang di dapatnya. Dengan bahasa itu manusia menerima dan mengembangkan pengetahuannya serta mentransformasikan pengetahuan tersebut kepada manusia lainnya, sehingga pengetahuan manusia menjadi berkembang terus. Tradisi melakukan transformasi pengetahuan pada awalnya dilakukan dengan cara lesan. Untuk menjaga keotentikan, obyektifitas dan validitas terhadap kebenaran sumber pengetahuan maka dilakukan inventarisasi dengan cara penulisan. Pengembangan lebih lanjut lagi setelah diperoleh pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan tersebut menjadi simbol-simbol abstrak yang disandikan/bahasa sandi. Maka pengertian bahasa menjadi meluas, tidak hanya meliputi bahasa lesan, melainkan juga meliputi segala macam bentuk lambang/simbol yang berupa kata, gerakan maupun tulisan/gambar.

Hal yang sama juga dilakukan terhadap wahyu-wahyu yang diterima Nabi Muhammad. Wahyu yang diterima kemudian dituliskan sesuai dengan yang diterima Nabi Muhammad. Namun pertanyaannya adalah, apakah lafal teks yang dalam bahasa Arab telah mampu menjelaskan seluruh phenomena kehidupan yang ada pada setiap pelosok dunia dan yang berlangsung sampai pada akhir jaman? Apalagi kalau mengingat bahwa kata phenomena memberikan petunjuk yang jelas terhadap adanya neumena yang artinya hakikat. Oleh karena itu, untuk mengetahui seluruh phenomena alam semesta, tidak cukup kalau hanya mengandalkan lafal teksnya saja. Tetapi juga dibutuhkan penalaran akal dengan mempergunakan kaidah-kaidah logika, untuk mengetahui realitas-realitas yang terdalam dan masih tersembunyi dari alam fenomenal, menuju neumena atau hakikat yang tersembunyi di dalamnya. Dalam hal ini, Tuhan menganjurkan kepada manusia agar memperhatikan adanya perumpamaan-perumpamaan yang terdapat di dalam ayat-ayat Al Qur’an.

Sesungguhnya dalam Al Qur’an ini sudah Kami kemukakan segala macam perumpamaan untuk umat manusia. Dan sesungguhnya bila engkau bawa suatu ayat kepada mereka, mereka yang kafir itu akan berkata: “Kamu tidak lain hanya orang-orang yang membuat-buat kepalsuan belaka”. (QS.30 Ar Ruum: 58).

Dari ayat tersebut di atas, terlihat bahwa pemahaman dengan mempergunakan faktor bahasa sebagai alatnya, meskipun selama ini sudah terbukti begitu besar kontribusinya terhadap pemahaman tentang realitas, namun hal tersebut bukanlah berarti sudah dapat diartikan sebagai telah mampu menguak seluruh kedalaman realitas di mana neumena (hakikat) berada. Dengan demikian, akhirnya bahasa Al Qur’an lebih merupakan bahasa simbolis, dan karena itu terbuka terhadap intepretasi atau penafsiran sesuai dengan budaya si penafsirnya, serta tingkat pemahaman yang sesuai dengan kebutuhan jaman maupun perkembangan ilmu pengetahuan atau peradaban manusia.

pemahaman ini adalah hasil sebuah perenungan serta diskusi bersama dengan seorang sahabat yang saat ini saya sendiri sudah tidak mengetahui dimana keberadaannya. Bagi saya dia adalah guru yang hebat dengan pemahaman spritualitas yang baik. Ini adalah ilmu sang sahabat saya, saya hanya mencoba mentransfernya kepada semua orang, sekiranya bermanfaat.

Wassalam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar